GosipNews.com, Jakarta - Dalam upaya memperkuat perlindungan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk Perempuan Pembela HAM (PPHAM), Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar kegiatan peningkatan kapasitas dan sosialisasi mekanisme respons cepat, Jumat lalu (4/10/2024). Acara yang digelar di kantor LPSK ini bertujuan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah darurat guna melindungi para pembela HAM yang menghadapi ancaman langsung.
Pembela HAM sendiri merupakan individu, kelompok, atau organisasi yang berperan dalam upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dari semua sektor dan isu. Sementara pembela HAM merupakan perempun yang membela HAM perempuan dan HAM pada umumnya, dan setiap orang (perempuan, laki-laki, dan/atau jenis kelamin lainnya) yang berjuang untuk penegakan dan pemajuan hak asasi khususnya hak asasi perempuan.
Mekanisme respons cepat ini diciptakan untuk menangani situasi darurat yang mengancam keselamatan, keamanan, dan jiwa pembela HAM. Para pembela HAM seringkali menghadapi berbagai bentuk kekerasan, mulai dari stigma, intimidasi, hingga kriminalisasi. Menurut data Komnas Perempuan, lebih dari 100 kasus kekerasan terhadap PPHAM telah diterima selama 2013 hingga 2023, sementara Komnas HAM mencatat 39 aduan terkait pelanggaran HAM yang dialami pembela HAM dalam kurun waktu 2020 hingga 2023.
Meski regulasi terkait perlindungan pembela HAM sudah ada, Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati mengakui bahwa mekanisme ini masih harus diintegrasikan ke dalam kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LPSK. Meski begitu, ia mengungkapkan bahwa LPSK sebelumnya telah melakukan berbagai upaya perlindungan darurat secara proaktif kepada pembela HAM.
"Memang bukan sesuatu yang baru tapi agak lebih responsif dan tertata dengan baik, melibatkan bukan hanya LPSK tapi juga 2 lembaga lain di luar LPSK," ujar Sri Suparyati.
Suparyati menekankan bahwa Pembela HAM kerap berada dalam posisi yang sangat rentan, sering menghadapi tekanan dan ancaman dari berbagai pihak karena kerja-kerja advokasi mereka. Sehingga, dengan tingkat ancaman dan intimidasi yang tinggi ini LPSK dan kedua lembaga lainnya patut untuk memberikan perlindungan darurat.
"Karena mereka itu bagian dari pembela HAM secara umum ya sebenarnya, dan mereka itu memiliki kerja-kerja yang cukup sensitif. Bisa jadi kerja-kerja mereka itu berada di bawah tekanan dari pihak lain, pihak ketiga, yang mungkin tidak bersesuaian dengan kerja-kerja pembela HAM ini. Sehingga membuka ruang kepada pembela HAM untuk mendapat intimidasi dan terancam,” tegasnya.
LPSK memiliki tujuh tahap dalam menerapkan mekanisme respons cepat perlindungan pembela HAM, yaitu: penerimaan pengaduan, verifikasi, proses awal perlindungan, perencanaan intervensi dan perlindungan, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan intervensi dan perlindungan, serta penyelesaian intervensi perlindungan darurat.
Di kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menjelaskan bahwa ketiga lembaga telah melakukan uji coba terkait mekanisme respons cepat terhadap perlindungan Pembela HAM dan Perempuan Pembela HAM. Menurutnya, koordinasi yang baik antar lembaga yang berkaitan dengan kewenangannya masing-masing perlu dilakukan sebagai kunci keberhasilan mekanisme Perlindungan Pembela HAM.
Anis juga menyoroti pentingnya perlindungan darurat bagi pembela HAM yang menghadapi ancaman serius dalam menjalankan tugasnya. Ia berharap mekanisme ini dapat memperkuat perlindungan dan memberikan rasa aman bagi pembela HAM di Indonesia, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut terhadap ancaman yang mengintai.*
Sumber: Humas LPSK
Lihat artikel lain di Google News